PELAJARAN EMOSI ANAK
EQ yang baik merupakan kunci sukses anak saat bersosialisasi. Jadi, kenali dan ketahui cara menstimulasi EQ di setiap tahapan usia. Dengan begitu, kecerdasan emosi anak bisa maksimal.
1. BAYI
Bayi baru sebatas mampu melakukan sesuatu yang didapatnya dari proses imitasi, ekspresi dasar seperti senyum sosial. Bayi yang sedikit-sedikit menangis menandakan bahwa EQ-y baik. Justru apabila bayi buang air kecil tanpa menangis, perlu dipertanyakan. Itu salah satu ciri si bayi belum mendapatkan stimulasi tentang emosi. Bayi mengenal dirinya sendiri dengan cara bagaimana orang tua dan pengasuhnya memperlakukannya. Apa yang dilakukan orang sekitar dipelajari sebagai pesan bagi dirinya. Karena itu, peluk, cium, dan kata-kata penuh kasih sayang harus terus dilakukan. Jangan lupa untuk mengenalkan aneka ekspresi emosi kepada bayi. Bayi harus sudah dikenalkan dengan ketekunan, sebuah modal awal untuk kemampuan memotivasi diri. Misal, seorang bayi yang sedang belajar jalan, diharapkan orang tua tidak berhenti memberi motivasi hingga si kecil berhasil berjalan. Agar kemampuan sosialisasinya berkembang orang tua bisa mengajak bayi berjalan-jalan bertemu dengan banyak orang atau teman-teman sesama bayi.
2. BATITA
Di rentang usia 1-3 tahun, anak mulai bersosialisasi, mulai diajarkan mana yang boleh dan tidak boleh. Jadi, setiap kali ekspresi emosi orang tua muncul seperti marah, senang, kesal, dan sebagainya, harus diutarakan alasannya kepada anak. Begitu pula saat anak mengeluarkan ekspresinya, berikan feedback kepadanya. Dengan begitu, anak bisa mengenali dirinya, mengolah, serta mengekspresikan emosinya dengan baik. Anak juga perlu diajarkan mengendalikan emosinya. Misalnya, saat anak ngambek karena tidak diperbolehkan makan permen, anak boleh protes atau menangis namun tidak boleh berlebihan seperti berteriak atau memukul Ibunya. Alangkah baiknya jika ibu mendekap anak dan menenangkannya, dan beri penjelasan sederhana tentang larangan tersebut. Sehingga anak bisa menjaga emosinya agar tidak meledak-ledak saat sedang resah atau menghadapi kesulitan.
Di usia ini anak sudah mengenal istilah bermain. Orang tua bisa memanfaatkannya untuk mengenali emosi anak dengan bermain pura-pura, membuat beraneka bentuk wajah emosi, membaca buku yang mengandung nilai moral bersama atau bermain berkelompok.Asah juga kemampuan sosialisasinya dengan mengajak anak bermain bersama anak-anak seusianya. Di usia ini anak masih egosentris, namun dengan melibatkan anak-anak lain bisa mengasah kemampuannya dalam berteman.
3. PRASEKOLAH
Pada tahap ini anak sudah berempati atau kemampuan mengenali emosi orang lain. Orang tua maupun guru sudah waktunya untuk mengajarkan berbagi, antri, atau menunggu giliran. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru harus pandai-pandai memberikan stimulasi dan feedback pada anak, khususnya saat anak sedang menghadapi konflik. Contoh, saat anak merebut mainan dengan temannya. Orang tua harus bisa memberikan pandangan bahwa yang namanya menyelak itu tidak baik, karena diselak itu tidak enak, serta minta anak untuk bisa bergiliran. Kunci berempati ialah kemampuan membaca pesan non verbal, seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan lain-lain. Untuk mengasah hal ini, orang tua harus ekspresif di depan anak, tanpa lupa menjelaskan arti dari ekspresi emosi tersebut. Ajarkan pula anak untuk mengelola emosinya. Salah satunya dengan diarahkan pada kegiatan seperti menggambar. Biasanya menggambar efektif sebagai media katarsis atau media untuk meluapkan perasaan ketika sedang gelisah. Selain itu, ajari anak untuk bisa melakukan relaksasi ketika ia sedang marah. Orang tua bisa mengusap-usap punggung anak agar tenang. Tingkatkan juga kemampuan sosialisasi dan interaksi anak. Dengan interaksi tersebut, anak tahu emosi yang dimiliki dirinya juga orang lain. Biasakan anak untuk bermain dan berbaur dengan anak-anak sebayanya. Undanglah teman-temannya ke rumah, buatlah aktivitas berkelompok seperti bermain peran bersama atau sekadar bermain bola.
4. SEKOLAH
Anak sudah bisa berpikir abstrak dan bisa memahami hubungan sebab akibat. Mereka juga lebih banyak mengikuti teman sejatinya atau peer group, karena rasa kebersamaannya cukup kuat. Anak biasanya akan cenderung mengikuti apa yang dikatakan atau diinginkan temannya dibandingkan dengan yang diharapkan orang tuanya, sehingga secara emosional mereka lebih mudah menunjukan respons secara aktual jika menghadapi masalah. Untuk mengajari emosinya, orang tua perlu berperan sebagai ”sahabat” atau ”teman” yang bisa mendengarkan permasalahannya. Kenali emosi anak dan identifikasi sumber masalah secara bersama-sama, lalu diskusikan kemungkinan jalan keluar yang tepat.
Latihan-latihan body awareness seperti yoga for kids, hingga teater, drama, musik, semua itu sangat baik karena anak belajar dan akan mengenal emosinya, mengekspresikan emosi, mengendalikan emosinya, bahkan mengenal emosi orang lain. Selain itu, kemampuan bicara anak usia ini sudah berkembang sangat baik dan kompleks seperti orang dewasa. Jadi, tingkatkan kualitas komunikasi dengan anak lewat private time sebelum tidur. Lakukan selama 10-15 menit mengenai apa saja yang ia rasakan selama aktivitasnya seharian, berikan feed back positif pada hal-hal yang ia rasakan. Jika perlu mulailah dari diri sendiri untuk memancing anak agar mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Sumber :
http://episentrum.com/artikel-psikologi/pelajaran-emosi-anak/